Siang hari dengan panas matahari yang menyengat, tidak mengganggu waktu santainya. Dengan ditemani segelas kopi panas dan sepeda butut di sampingnya, lelaki setengah baya itu duduk nikmat di pinggir kali.
Markuat, itulah nama lelaki yang sedang bersantai di tengah kesibukan toko-toko di sekelilingnya. Ia duduk manis di bawah pohon pinggir kali saat itu. Pak Markuat adalah seorang penyedia jasa di sekitar kawasan Glodok, Kota. Ia adalah salah satu dari banyak pengojek sepeda ontel di kawasan Kota Tua. Saat itu dia sedang santai melepas lelah setelah semalaman bekerja. Cukup enggan bagiku untuk menggaggunya.
Setelah menerobos keramaian pasar yang sesak, akhirnya aku dapat duduk disamping Pak Markuat. Bapak tua ini sempat kaget dan kaku ketika kuajak bicara. Sehabis memperkenalkan diri, ia menerima untuk diajak ngobrol santai denganku. Dengan keramahannya, Pak Markuat bersedia untuk menceritakan kisahnya padaku.
Bapak Markuat berasal dari daerah Tegal, Jawa Barat. Di Jakarta, Pak Markuat menggeluti pekerjaan mengojek sepeda semenjak enam belas tahun yang lalu. Dahulu sebelum mengojek ontel, Pak Markuat memiliki pekerjaan sebagai seorang kuli bangunan. Hanya
saja kekuatan fisiknya semakin berkurang karena dimakan usia. Semakin tua, semakin rapuh tubuhnya. Sudah tak sanggup tubuh bapak itu untuk nguli. Inilah yang membuat Pak Markuat berpindah kerjaan menjadi pengojek sepeda ontel. Kota tua dapat menerimanya untuk mengais rupiah disana.
saja kekuatan fisiknya semakin berkurang karena dimakan usia. Semakin tua, semakin rapuh tubuhnya. Sudah tak sanggup tubuh bapak itu untuk nguli. Inilah yang membuat Pak Markuat berpindah kerjaan menjadi pengojek sepeda ontel. Kota tua dapat menerimanya untuk mengais rupiah disana.
Awal waktu Pak Markuat menjadi seorang pengojek, dahulu ia menggunakan sepeda sewaan milik orang lain. Pak Markuat menyewa sepeda dengan tarif yang bisa dibilang cukup murah. Ia berkata,
“Ya cuma delapan ribuan.”
Sekitar enam tahun yang lalu, pada akhirnya Pak Markuat dapat mengumpulkan uang untuk membeli sepeda sendiri. Sepeda itu ia beli dengan harga 225 ribu rupiah. Sedikit-demi sedikit ia mengumpulkan uangnya.
“Itu dikit-dikit de saya ngumpulinnya”,begitu serunya.
Mereka hebat, mampu bertahan di kerasnya ibu kota.
BalasHapusiya memang perjuangannya sangat hebat.
Hapusketika saya mendengarkan kisah ini juga takjub