Di tanggal 27 Oktober nanti, Pak Markuat genap berumur 60 tahun. Di usianya yang masuk golongan lansia ia masih harus bekerja keras untuk isteri dan anak-anak yang sangat dia cintai di kampung halaman.
“Isteri dan anak-anak yang menjadi penyemangat saya”,begitulah katanya.
Dengan pendidikan rendah yaitu sampai kelas 5 SD, menyebabkan bapak tua baya ini tidak memiliki banyak pilihan pekerjaan. Itulah yang menjadikan di usia tuanya Pak Markuat masih harus menjadi pekerja kasar. Upah yang ia terima pun jauh dari sejahtera. Demikianlah perjuangan Pak Markuat untuk keluarga yang dicintainya.
Sebagai seorang pengojek sepeda Pak Markuat tidak memiliki upah yang besar untuk kecukupan hidup sehari-hari. Setiap harinya ontel yang ia kayuh hanya dapat menghasilkan rupiah 20 sampai 22 ribu banyaknya. Rupiah terbesar yang dapat diberikan oleh sepeda itu adalah 30 ribu. Uang sebesar itu pun Pak Markuat dapatkan pada
saat malam Minggu. Bisa dibayangkan berapa yang dimilikinya untuk megisi perutnya. Kopi dan rokok menjadi andalannya untuk menahan nafsu makannya.
saat malam Minggu. Bisa dibayangkan berapa yang dimilikinya untuk megisi perutnya. Kopi dan rokok menjadi andalannya untuk menahan nafsu makannya.
Penghasilan yang rendah dan tak menentu seperti itu menjadi beban berat Pak Markuat untuk menghidupi keluarganya di kampung. Bapak Markuat hidup sebatang kara di Jakarta. Sementara itu isteri dan lima orang anaknya tinggal di kampung halamannya. Beruntung isterinya bekerja sebagai buruh tani di sana. Walau demikian penghasilan mereka tetap tidak dapat mengantar anak-anak ke pendidikan yang tinggi. Alhasil anak-anak Pak Markuat hanya besekolah sampai SMP. Sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan dirinya.
Isteri yang setia membantu Pak Markuat dalam keuangan keluarganya ini baru berusia 38tahun. Ibu Markuat bernama Astutik, biasa dipanggil Tutik. Ibu ini berasal dari Brebes. Sekarang ibu Tutik tinggal di Cirebon, Jawa Barat, bersama kelima anaknya. Dari perkwinan tersebut, anak paling tua sudah berumur 21 tahun dan paling kecil 5 tahun. Dua anak terbesar sudah memiliki pekerjaan. Pekerjaan mereka hanya sekedar menjadi kuli. Sedangkan tiga orang sisanya masih belajar. Orang-orang tersebutlah yang diperjuangkan Pak Markuat dengan membanting tulang di Jakarta.
Mulai dari pukul enam sore Pak Markuat mengayuh sepedanya di kawasan Toko Tiga, Glodok. Pelanggannya mulai dari pedagang toko dan pembeli di pasar sekitar. Menjelang malam, Pak Markuat meng-go’es sepedanya ke Kota Tua. Banyak orang yang berwisata dan berminat naik ojek sepeda di sana. Ia menjalani hal ini sampai dengan pukul sepuluh pagi. Semalaman ontel tersebut dikayuh tanpa lelah oleh Pak Markuat. Ontelnya telah menjadi sahabatnya.
Tak mengenal lelah Pak Markuat bekerja. Siang-malam ia mengayuh sahabatnya dengan perjuangan. Meski penghasilan kecil dan tak menentu, Pak Markuat berusaha meyisihkan uangnya untuk pulang kampung. Setiap 2-3 bulan sekali Pak Markuat kembali pulang ke keluarganya. Waktu pulangnya bergantung dari penghasilannya sudah cukup apa belum.
“Kalo cukup ya pulang, kalo ga ya go-es terus aja”,tanggapannya santai nan lirih. Demikian cara Pak Markuat untuk selalu berusaha keras agar dapat melepas rindu dengan keluarga yang setia menunggunya.
memberikan motivasi n bersyukur ama idup sendiri.. :)
BalasHapusBerorientasi pada proses akan membuat hasil lebih memuaskan, bukan hasil akhir yang dituju karna barangkali menjadi menyakitkan. Semangat mengayuh kehidupan pak ! Generasi muda harus malu dengan kegigihan Bapak ini ! SEMANGAT!!
BalasHapusluar biasa, diusia yang tak lagi muda pak markuat terus berjuang. sebuah kegigihan yang patut diacungi jempol.
BalasHapus